BAB 19 – FARDHU-FARDHU SHALAT DAN RUKUN-RUKUNNYA

 Sahnya shalat itu meliputi: Harus suci dari hadas dan kotoran, masuk waktu, menghadap Kiblat, dan harus memakai pakaian penutup aurat. Hal-hal di atas harus dipenuhi semuanya sebelum melaksanakan shalat, dan hal-hal itu dinamakan syarat, serta pembahasan masalah tersebut telah dijelaskan secara rinci sebelumnya. Shalat itu juga terdiri dari beberapa fardhu dan beberapa rukun yang harus dilaksanakan langsung ketika shalat. Rukun-rukun dan fardhu-fardhu itu sangat banyak, yaitu: NiatUlama mazhab berbeda pendapat, bahkan para ahli fiqih dalam satu rnazhab juga berbeda antara yang satu dengan yang lain, yaitu tentang apakah orang yang shalat itu wajib berniat, apakah ia wajib menyatakan, yang mana ia berniat, misalnya shalat Dzuhur atau shalat Ashar, shalat fardhu atau sunnah, shalat sempurna atau shalat qashar (pendek), dan shalat ada’an atau shalat qadha’ dan seterusnya. Hakekatnya niat sebagaimana telah kami jelaskan dalam bab wudhu, bahwa niat itu adalah tujuan dari suatu perbuatan yang didorong oleh rasa taat dan patuh mengikuti perintah-perintah Allah. Sedangkan apakah niat itu dinyatakan apakah untuk shalat fardhu atau sunnah, apakah untuk shalat ada’an atau qadha’, maka orang yang shalat itu sesuai dengan yang diniatkannya. Bila berniat shalat sunnah sejak memulai dan melaksanakannya, maka ia berarti telah melakukan shalat sunnah. Bila berniat shalat far­dhu Dzuhur atau Ashar dan ia melaksanakannya, maka berarti ia telah melaksanakannya. Tapi bila tidak berniat apa-apa, maka berarti ia telah melakukannya dengan sia-sia. Namun tidak mungkin, bahkan mustahil ia tidak berniat, karena setiap perbuatan yang keluar dari orang yang berakal, dalam keadaan apapun tidak terpisah dari niat, baik dinyatakan (diungkapkan) dengan kata-kata tertentu, atau tidak.  Dari itu semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan dengan kata-kata tidaklah diminta. Sebagaimana mustahil juga secara kebiasaan seseorang berniat melakukan shalat Dzuhur tetapi ia melakukan shalat Ashar, dan berniat melakukan shalat fardhu tetapi ia melakukan shalat sunnah, padahal ia tahu dan dapat membedakan antara dua shalat tersebut. Tapi bagaimanapun juga, pembahasan tentang niat dan bagian-bagiannya ini tidak penah dikenal dalam masyarakat dahulu, yaitu yang berasaskan agama dan syariat. Dan alangkah baiknya, kalau kami menukil komentar dua orang ulama besar.  Pertama, dari kalangan Sunni, yaitu Ibnul Qayyim.  Kedua, dari kalangan Imamiyah (Syi’i), yaitu Sayyid Muhammad, pengarang buku Al-Madarik. Ibnul Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma ‘ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut: Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam kalau menegakkan shalat, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam langsung mengucapkan “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) dan beliau tiak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan “Ushali kadza mustaqbilal Kiblati arba ‘a raka’atin imaman aumakuman” (Saya shalat ini atau itu dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai Imam atau Makmum), dan tidak pula berkata “ada-an” (melaksanakan) dan tidak pula “qadha’an” (mengganti), dan tidak pula “fardhol wakti” (shalat fardhu pada waktu ini). Ini semuanya merupakan bagian dari sepuluh perbuatan bid’ah, karena tidak ada nash shahih yang menceritakan dengan sanad yang shahih, dan tidak pula dengan sanad dha’if (lemah), dan tiak pula dengan sanad hasan, dari salah seorang tabi’in, dan tidak pula dari para Imam empat mazhab. Sayyid Muhammad dalam bukunya Madarikul Ahkam tentang mabhatsu al-niyya awwalu as-shalati”. (Pembahasan tentang niat sebagai perbuatan pertama dalam shalat), berkata: Kesimpulan yang ditarik dari dalil-dalil syam’ adalah kemudahan untuk mengucapkan niat untuk melakukan perbuatan tertentu dalam rangka mematuhi perintah-perintah Allah. Masalah ini tidak terpisah dari orang yang berakal yang mempunyai tujuan untuk melaksanakan ibadah. Dari dasar inilah sebagian orang yang mempunyai kelebihan berkata: Seandainya Allah membebani seseorang dengan shalat atau ibadah-ibadah lainnya tanpa niat, maka ini merupakan beban yang tidak mampu dilaksanakan. Syahid menjelaskan dalam buku Al-Dzikra bahwa para ulama terdahulu tidak pernah menjelaskan tentang niat dalam buku fiqh mereka, bahkan mereka berkata: Rukun wudhu yang pertama ialah membasuh muka, dan rukun shalat yang pertama adalah takbiratui ihram. Seakan-akan wajahnya merupakan kadar bagi orang yang mengungkapkan niatnya dari masalah yang ia kerjakan, karena ia tidak mungkin berpisah dari yang dilakukannya, dan selebihnya bukanlah wajib. Keterangan yang memperkuat penjelasan tentang hal ini, adalah tidak dijelaskannya dalam beberapa ibadah secara khusus, serta beberapa hadis menjelaskan tentang bagiamana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam berwudhu, mandi dan bertayammum, di mana pada dasarnya tidak ada yang menjelaskan tentang niat ini. Takbiratul Ihram Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama tak­biratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam : “Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam”. Yang dimaksud diharamkan adalah berbicara dan semua yang tidak berhubungan dengan shalat. Sedangkan yang dimaksud menghalalkannya adalah bahwa orang yang shalat itu diperbolehkan melakukan apa-apa yang diharamkan setelah takbir. Kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh memakai kata-kata lainnya menurut Imamiyah, Maliki dan Hambali.  Syafi’i: Boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan “Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. Hanafi: Boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). Semua ulama mazhab sepakat selain Hanafi bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). Bila ia tidak bisa maka ia wajib mempelajarinya. Bila tidak bisa belajar, ia wajib menerjemahkan ke dalam bahasanya.  Hanafi: Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa berbahasa Arab. Semua ulama mazhab sepakat: Syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat, seperti suci dari hadas, baik hadas kecil maupun besar, menghadap Kiblat, menutup aurat dan seterusnya. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. Juga harus mendahulukan lafdzul Jalalah “Allah” dari pada kata “Akbar”, dan kalau dibalik menjadi “Akbar Allah”, tidak diperbolehkan. Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia harus shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia harus shalat miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi Kiblat dihadapan badannya menurut kesepakatan semua ulama maz­hab selain Hanafi. Hanafi berpendapat: Siapa yang tidak bisa duduk, ia harus shalat terlentang dan menghadap Kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’. dan sujud tetap menghadap Kiblat. Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Imamiyah, Syafi’i dan Hambali ia harus shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke Kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya. Hanafi: Bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, ma­ka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. Maliki: Bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya, dan tidak diwajibkan meng-qadha nya. Imamiyah, Syafi’i dan Hambali: Shalat itu tidaklah gugur da­lam keadaan apapun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakan lisan­nya. maka la harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. Ringkasnya bahwa shalat itu wajib bagi orang yang mampu dan orang yang tidak mampu serta tidak boleh ditinggalkan da­lam keadaan apapun. la harus dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf dengan kadar kemampuannya. Bila tidak bisa berdiri, harus shalat duduk, bila tidak bisa duduk, ia harus shalat ter-lentang sambil miring ke kanan. Bila tidak bias juga, ia harus shalat terlentang saja, atau dengan kedipan matanya, atau bila juga tidak bisa, harus dengan hatinya saja dan ingatannya. Orang yang mampu dan yang lemah (tidak mampu) ia harus berubah dari satu keadaan pada keadaan lainnya asal ia dapat melaksanakannya (shalat). Bila tidak mampu berdiri ketika sha­lat berdiri, maka ketika itu pula (sedang berdiri itu) ia harus shalat dengan duduk. Begitu juga sebaliknya, bagi orang yang shalat duduk, lalu datang kemampuannya untuk shalat berdiri, maka ia harus shalat berdiri ketika sedang shalat itu juga, dan seterusnya. Kalau shalat pada raka’at pertama ia berdiri lalu pada raka’at selanjutnya ia tidak mampu, maka ia harus meneruskannya dengan duduk. Bila mampu shalat duduk tapi ketika di pertengahan shalat datang halangan yang menyebabkan tidak mampu duduk, ia harus shalat dengan semampunya sampai selesai. Begitu juga sebaliknya, bila shalat duduk, lalu dipertengahan shalat datang kemampuannya untuk berdiri, ia harus shalat berdiri sampai selesai. Bacaan Ulama mazhab berbeda pendapat, apakah membaca Al-Fatihah itu diwajibkan pada setiap rakaat, atau pada setiap dua rakaat pertama saja, atau diwajibkan secara aini (yang harus pada setiap orang) pada semua rakaat?  Apakah basmalah itu merupakan bagian yang harus dibaca atau boleh ditinggalkannya?  Apakah semua bacaan yang dibaca dengan nyaring atau lemah pada tempatnya adalah wajib atau sunnah?  Apakah wajib membaca surat Al-Qur’an setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama atau tidak?  Apakah membaca tasbih (Subhanallah) dapat mengganti kedudukan surat?  Apakah menyilangkan dua tangannya itu disunnahkan atau diharamkan? dan seterusnya. Hanafi: Membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh, berdasarkan Al-Qur’an surat Muzammil ayat 20: “Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an”, (Bidayahtul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah). Membaca Al-Fatihah itu hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama, sedangkan pada rakaat ketiga pada shalat Maghrib, dan dua rakaat terakhir pada shalat Isya’ dan Ashar kalau mau bacalah, bila tidak, bacalah tasbih, atau diam. (Al-Nawawi, Syarhul Muhadzdzab, Jilid III, halaman 361). Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih, apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca secara sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Se­dangkan menyilangkan dua tangannya adalah sunnah bukan wajib. Bagi orang lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di alas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama ada­lah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. Syafi’i: Membaca Al-Fatihah itu adalah wajib pada setiap ra­kaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat Shubuh dan dua rakaat yang pertama pada shalat Maghrib dan Isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada shalat Shubuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat, kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang per­tama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangannya bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita.  Dan yang pa­ling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. Maliki: Membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada ra-kaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Qur’an setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pada shalat Shubuh dan dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan Isya’, serta qunut pada shalat Shubuh saja.  Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangannya pada shalat fardhu. Hambali: Wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Qur’an pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat Shubuh, serta dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan Isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus dengan pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras.  Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangannya disunnahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa menyilangkan dua tangan yang diungkapkan oleh para ahli fiqh Sunni adalah dengan memegang, sedangkan menurut pada ahli fiqh Syi’ah adalah dengan melepaskan, di mana dalam empat mazhab tidak diwajibkan untuk melepaskannya. Imamiyah: Membaca Al-Fatihah hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama pada setiap shalat, dan tidak cukup (boleh) pada rakaat yang lain. Dan tidak wajib pada raka’at ketiga pada shalat Maghrib, dan dua rakaat terakhir pada shalat yang empat rakaat, bahkan boleh memilih antara membacanya atau menggantinya dengan tasbih, dan orang yang shalat itu cukup dengan mengucapkan: “Maha Suci Allah, dan segala puji bagi Allah, dan tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar”, sebanyak tiga kali, tapi memadai dengan satu kali saja. Dan wajib membaca satu surat secara lengkap pada dua rakaat pertama.  Basmalah merupakan bagian dari surat yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Pada shalat Shubuh wajib membacanya dengan nyaring, tapi dzikir-dzikir yang lain tidak boleh dibaca dengan nyaring, juga dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan shalat Isya’ wajib dinyaringkan. Sedangkan pada dua shalat Dzuhur (Dzuhur dan Ashar) Harus dipelankan selain basmalah.  Membaca basmalah dengan nyaring adalah disunnahkan pada dua rakaat pertama dari kedua shalat (Dzuhur dan Ashar) tersebut juga pada rakaat ketiga pada shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir dari shalat Isya’. Disunnahkan ber-qunut pada semua shalat fardhu, yaitu pada rakaat kedua setelah membaca surat Al-Qur’an sebelum ruku’. Sekurang-kurangnya menyaringkan bacaan adalah didengar oleh orang yang paling dekat dengannya dan paling pelannya adalah didengar oleh dirinya sendiri.  Sedangkan bagi wanita tidak boleh menyaringkan bacaannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab, namun tidak boleh terlalu pelan sehingga tidak bisa didengar oleh dirinya sendiri. Kalau orang yang shalat itu secara sengaja menyaringkan bacaan yang seharusnya dipelankan, atau sebaliknya, maka shalatnya batal, tapi kalau melakukannya karena tidak tahu atau lupa, maka sha­latnya sah. Imamiyah: Juga mengharamkan mengucapkan amin, dan ba­tal shalatnya kalau mengucapkannya, baik ketika shalat sendiri, menjadi Imam atau Makmum, karena hal itu termasuk pembicaraan manusia, sedang dalam shalat tidak dibenarkan meng­ucapkan kata yang merupakan pembicaraan manusia (yakni, kata amin merupakan kata yang hanya dipakai dalam masyarakat, bukan merupakan kata dari Al-Qur’an pent.)  Namun empat mazhab menyatakan, bahwa membaca amin adalah sunnah, ber-dasarkan hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam bersabda: “Kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ‘alaihim waladz-dzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin”. Imamiyah menentang ke-shahih-a.n (Validitas) hadis tersebut. Kebanyakan Imamiyah menyatakan (berpendapat) bahwa menyilangkan dua tangan dalam shalat dapat membatalkan shalat, karena tidak ada ketetapan dari nash.  Sebagian berpendapat Imamiyah bahwa menyilangkan tangan adalah haram, maka siapa yang melakukan­nya adalah berdosa, tetapi tidak sampai membatalkan shalat. Pendapat ketiga dari Imamiyah: Hanya makruh saja, bukan haram. Ruku’Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma ‘ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. Hanafi: Yang diwajibkan hanya semata-mata nnembungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah.  Mazhab-mazhab yang lain: Wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat ilu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber tuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. Syafi’i, Hanafi dan Maliki: Tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”. Imamiyah dan Hambali: Membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib.  Kalimatnya menurut Hambali: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”.  Sedangkan menurut Imamiyah: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan Segala Puji bagi-Nya”,  atau mengucapkan: “Maha Suci Allah”, Sedangkan tiga kali, lalu di ditambahkan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam dan keluarganya setelah bertasbih. Hanafi: Tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh.  Mazhab-mazhab yang lain: Wajib mengangkat kepalanya dan beri’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan: “Allah mendengar orang yang memuji-Nya”.  Imamiyah mewajibkan thuma’ninah dan tidak bergerak ketika berdiri dari ruku’ itu. SujudSemua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. apakah diwajibkan (yang menempel) itu semua anggota yang tujuh, atau hanya sebagian saja?  Anggota tujuh itu adalah: Dahi, dua telapak tangan, dua lutut dan ibu jari dua kaki. Maliki, Syafi’i dan Hanafi: Yang wajib (menempel) hanya dahi sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah.  Imamiyah dan Hambali: Yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh, secara sempurna. Bahkan Hambali menambahkan hidung, sehingga menjadi delapan. Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’.  Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud.  Hanafi: Tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu.  Mazhab-mazhab yang lain: Wajib duduk di antara dua sujud itu. TahiyyatTahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian:  Pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat petama dari shalat Magh­rib, Isya’, Dzuhur dan Ashar dan tidak diakhiri dengan salam.  Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga atau empat rakaat. Imamiyah dan Hambali: Tahiyyat pertama itu wajib.  Mazhab-mazhab lain: Hanya sunnah, bukan wajib. Sedangkan pada tahiyyat terakhir adalah wajib, menurut Sya­fi’i, Imamiyah dan Hambali.  Sedangkan menurut Maliki dan Hanafi: Hanya sunnah, bukan wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I. Halaman 125). Kalimat (lafadz) tahiyyat  Menurut Hanafi:“Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”“Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”“Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”“Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya”. Menurut Maliki:“Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”“Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya ““Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa”“Tidak ada sekutu bagi-Nya“Dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya “.  Menurut Syafi’i:“Kehormatan, barakah-barakah, shalawat dan kebaikan adalah kepunyaan Allah ““Salam sejahtera kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya ““Semoga kesejahteraan tercurah bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang saleh”“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”“Dan aku bersaksi bahwa junjungan kami, Muhammad, adalah utusan Allah”. Menurut Hambali:“Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”“Salam sejahtera kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya”“Semoga kesejahteraan tercurah bagi kami dan juga bagi hamba-hamba Allah yang saleh”“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang Esa, tidak ada sekutu baginya”“Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya”“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad”.  Menurut Imamiyah:“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya”“Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya”“Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad”. Mengucapkan SalamSyafi’i, Maliki dan Hambali: Mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi: Tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126). Dalam Imamiyah sendiri terjadi perbedaan pendapat: Ada sekelompok Imamiyah yang menyatakan wajib, sedangkan sebagian kelompok lain menyatakan hanya sunnah. Di antara orang yang menyatakan sunnah adalah Al-Mufid Syaikh Al-Thusi dan Al-Allamah Al-Hilli.Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu: “Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian” Hambali: Wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. Ima­miyah: Mengucapkan (menyampaikan) salam itu ada dua lafadz (kalimat) Pertama: “Semoga kesejahteraan tercurah bagi kami dan bagi para hamba Allah yang saleh”. Kedua: “Semua kesejahteraan tercurah bagi kamu sekalian, juga rahmat Allah, dan barakah-Nya”. Yang wajib itu adalah salah satu, jika telah membaca yang pertama, maka yang kedua itu disunnahkan. Dan jika membaca yang kedua, cukup dengan membaca itu saja dan berhenti disitu. Sedangkan salam:bukan salam yang harus dibaca pada waktu shalat, hanya disunnahkan membacanya setelah tasyahhud. TertibDiwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Qur’an (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan dari sujud, begitu seterusnya.  Berturut-turutDiwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung,juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir (takbiratul ihram) tanpa ada antara (selingan). Dan mulai ruku’ setelah membaca Fatihah atau ayat Al-Qur’an, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat dan huruf-huruf.  

Leave a comment